Abu
Thalhah Al Anshari
Adakah wanita
yang tidak tertarik pada harta lalu memilih mahar lain yang lebih mulia? Pada
Seri Sirah
Sahabat ke-10 ini, kita akan berkenalan dengan sahabat nabi yang memenuhi
mahar itu kemudian ia menjadi pahlawan Islam yang sangat tangguh. Dialah Abu
Thalhah Al Anshari. Selamat membaca sirah sahabat
yang satu ini.
***
Zaid bin Sahal
An-Najjary, alias Abu Thalhah tahu, perempuan bernama Rumaisha’ binti Milhan
An-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu
Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik,
cerdas, dan memiliki sifat-sifat perempuan yang sempurna.
Abu Thalhah
bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum laki-laki lain
mendahuluinya. Karena Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain mendahuluinya.
Karena Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain yang menginginkan Ummu Sulaim
menjadi istrinya. Namun begitu, Abu Thalhah percaya, tidak seorang pun
laki-laki lain yang berkenan di hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri.
Abu Thalhah laki-laki sempurna, menduduki status sosial yang tinggi, dan kaya
raya. Di samping itu, dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di
kalangan Bani Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.
Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalanan
dia ingat, Ummu Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari
Makkah, Mushab bin Umair. Lalu Ummu Sulaim iman dengan Muhammad dan menganut
agama Islam.
Tetapi setelah berpikir demikian, dia berkata kepada
dirinya, “Hal itu tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal
menganut agama nenek moyangnya? Bahkan suaminya itu menentang Muhammad dan
dakwahnya.”
Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin
masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Dia minta izin masuk, maka diizinkan
oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam pertemuan mereka itu.
Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim
menjadi istrinya. Ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.
Kata Ummu Sulaim, “Sesungguhnya laki-laki seperti Anda,
hai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan
kawin dengan Anda, karena Anda kafir.”
Abu Thalhah mengira, Ummu Sulaim hanya sekedar
mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain
yang lebih kaya dan lebih mulia daripadanya.
Kata Abu Thalhah, “Demi Allah! Apakah sesungguhnya yang
menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?”
Jawab Ummu Sulaim, “Tidak ada selain itu!”
Tanya Abu Thalhah, “Apakah yang kuning atau yang putih…?
Emas atau perak?”
Ummu Sulaim balik bertanya, “Emas atau perak..?”
“Ya, emas atau perak?” jawab Abu Thalhah menegaskan.
Kata Ummu Sulaim, “Kusaksikan kepada Anda, hai Abu
thalhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam,
aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak; cukuplah Islam itu menjadi
mahar bagiku.”
Mendengar ucapan Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah
teringat akan patung sesembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal.
Patung itu khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangsawan
kaumnya, Bani Najjar.
Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi
masih panas (mengislamkan Abu Thalhah). Sementara Abu Thalhah
terbengong-bengong mengingat berhala sembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan
bicaranya.
“Tidak tahukah Anda, hai Abu Thalhah, patung yang Anda
sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?” Tanya Ummu Sulaim.
“Ya, betul!” jawab Abu Thalhah.
“Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi
Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak…?
Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku. Aku
tidak akan meminta mahar darimu selain itu,” kata Ummu Sulaim.
“Siapa yang harus mengislamkanku?” tanya Abu Thalhah.
“Aku bisa,” jawab Ummu Sulaim.
“Bagaimana caranya?” tanya Abu Thalhah.
“Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadat. Akui tidak
ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang
ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!” kata Ummu Sulaim
menjelaskan.
Abu Thalhah tampak gembira. Lalu dia mengucapkan dua
kalimat syahadat.
Sesudah itu Abu Thalhah nikah dengan Ummu Sulaim.
Mendengar kabar Abu Thalhah kawin dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam,
maka kaum muslimin berkata: Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang lebih
mahal dari pada mahar Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam.
Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera
Islam. Segala daya yang ada padanya dikorbankannya untuk berkhidmat kepada
Islam.
Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim termasuk kelompok
tujuh puluh yang bersumpah setia (baiat) dengan Rasulullah di Aqabah. Abu
Thalhah ditunjuk Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari dua belas regu
yang dibentuk malam itu atas perintah Rasulullah untuk mengislamkan Yatsrib.
Dia ikut berperang bersama-sama Rasulullah SAW dalam
setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam perang-perang itu, tidak urung
pula Abu Thalhah mendapat cobaan-cobaan yang mulia. Tetapi cobaan yang paling
besar diderita Abu Thalhah ialah ketika dia berperang bersama-sama rasulullah
dalam perang Uhud. Dengarkanlah kisahnya.
Abu Thalhah mencintai Rasulullah sepenuh hati, sehingga
perasaan cinta itu mengalir ke segenap pembuluh darahnya. Dia tidak pernah
merasa jemu melihat wajah yang mulia itu, dan tak pernah merasa bosan mendengar
hadits-hadits beliau yang selalu terasa manis baginya. Apabila Rasulullah
berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, “Inilah
diriku, kujadikan tebusan bagi diri Anda dan wajahku pengganti wajah Anda.”
Ketika terjadi perang Uhud, barisan kaum Muslimin
terpecah-belah. Mereka lari kucar-kacir dari samping. Rasulullah SAW oleh
karenanya kaum musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat
beliau. Musuh berhasil mencederai beliau, sehingga darah mengalir membasahi
mukanya. Lalu kaum musyrikin menyiarkan isu Rasulullah telah tewas.
Mendengar teriakan kaum musyrikin itu, kaum muslimin
menjadi kecut, lalu lari porak-poranda memberikan punggung mereka kepada
musuh-musuh Allah. Hanya beberapa orang saja tentara muslimin yang tinggal
mengawal dan melindungi Rasulullah. Diantara mereka ialah Abu Thalhah yang
berdiri paling depan.
Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah
bukit berdiri dengan kokohnya melindungi beliau. Rasulullah berdiri di
belakangnya, terlindung dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu
Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan anak panah tepat mengenai
sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu. Tiba-tiba
Rasulullah mendongakkan kepala melihat siapa sasaran panah Abu Thalhah.
Abu Thalhah mundur menghampiri beliau, karena kuatir
terkena panah musuh. “Demi Allah! Janganlah Rasulullah mendongakkan kepala
melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan dadaku sejajar
dengan leher dan dada Rasulullah. Jadikanlah aku menjadi perisai Anda,” ujarnya
mantap.
Seorang prajurit muslim tiba-tiba lari ke dekat Rasulullah
sambil membawa sekantong anak panah. Rasulullah memanggil prajurit itu. kata
beliau, “Berikan anak panahmu kepada Abu Thalhah. Jangan dibawa lari!” Abu
Thalhah senantiasamelindungi Rasulullah SAW, sehingga tiga batang busur panah
patah olehnya, dan sejumlah prajurit musyrikin tewas dipanahnya.
Allah menyelamatkan dan memelihara Nabi-Nya yang selalu
berada di bawah pengawasan-Nya sampai pertempuran usai.
Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fi
sabilillah, namun lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah.
Abu Thalhah mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas. Tidak ada
kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah. Pohon-pohonnya rimbun, buah-buahannya
subur, dan airnya manis.
Pada suatu hari ketika Abu Thalhah shalat di bawah naungan
sebatang pohon nan rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna
hijau, berparuh merah, dan kedua kakinya indah berwarna. Burung itu melompat
dari dahan ke dahan dengan suka citanya, bersiul-siul dan menari-nari. Abu
Thalhah kagum melihat burung itu. dia membaca tasbih, tetapi pikirannya tak
lepas dari burung itu.
Ketika menyadari bahwa dia sedang shalat, dia lupa sudah
berapa rakaat dia shalat. Dua atau tiga rakaatkah, dia tidak ingat. Selesai
shalat dia pergi menemui Rasulullah dan menceritakan kepada beliau pristiwa
yang baru dialaminya dalam shalat. Diceritakannya juga kepada beliau
pohon-pohon nan rindang dan burung yang bersiul sambil menari-nari ketika dia
sedang shalat.
Kemudian katanya, “Saksikanlah, wahai rasulullah! Kebun
itu aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai dengan
kehendak Allah dan Rasul-Nya.”
Abu Thalhah sering berpuasa dan berperang sepanjang
hidupnya. Bahkan dia meningal ketika sedang berpuasa dan berperang fi
sabilillah. Lebih kruang tiga puluh tahun sesudah Rasulullah wafat, dia
senantiasa puasa setiap hari, selain hari raya. Umurnya mencapai lanjut. Tetapi
ketuaan tidak menghalanginnya untuk jihad fi sabilillah dan untuk melakukan
perjalanan jauh demi menegakkan kalimat Allah.
Di zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum msulimin bertekad
hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam
peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.
Kata anak-anaknya, “Wahai bapak kami! Bapak sudah tua.
Bapak sudah turut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama dengan Abu
Bakar dan Umar bin Khattab. Kini Bapak harus beristirahat. Biaarlah kami
berperang untuk Bapak.”
Jawab Abu Thalhah, “Bukankah Allah SWT telah berfirman:
“Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu
jika kamu menyadari.” (QS. At-Taubah : 41). Firman Allah itu memerintahkan kita
semuanya baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk
berperang.”
Abu Thalhah menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal
di rumah, dan bersikeras untuk ikut berperang.
Ketika Abu Thalhah yang sudah lanjut usia itu berada di
atas kapal bersama-sama dengan tentara meninggal di tengah lautan, dia jatuh
sakit, lalu meninggal di kapal. Kaum muslimin melihat-lihat daratan, mencari
tempat memakamkan jenazah Abu Thalhah. Tetapi enam hari setelah wafatnya,
barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah
disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal, tanpa berubah sedikit jua
pun. Bahkan dia seperti layaknya orang tidur nyenyak saja. Di aman beliau
dimakamkan?
Di tengah laut luas
Jauh famili dan kampung halaman
Jauh handai beserta tolan.
Abu Thalhah dimakamkan , biarlah jauh dari mereka, asalkan
dekat kepada Allah, ia tak akan celaka. [sumber : Kepahlawanan Generasi
Shahabat Rasulullah SAW]
No comments:
Post a Comment